Bagaimana budaya organisasi dapat
mempengaruhi perilaku etis, dan berikan contoh kasusnya !
Budaya organisasi
merupakan nilai, anggapan, asumsi, sikap dan norma perilaku yang telah
melembaga kemudian mewujud dalam penampilan, sikap dan tindakan, sehingga
menjadi identitas dari organisasi tertentu.
Budaya organisasi dalam setiap perusahaan, muncul
berdasarkan perjalanan hidup para pegawai. Pada umumnya budaya organisasi
terletak pada pendiri organisasi. Merekalah yang berperan penting dalam
mengambil sebuah keputusan dan sebagai penentu arah strategi organisasi. Budaya
organisasi juga disebut sebagai budaya perusahaan.
Budaya
organisasi di setiap perusahaan yang ada di seluruh duniamemiliki budaya
tersendiri dalam menjalankan kinerjanya. Hal ini disebabkan karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor sebagai berikut.
Lingkungan usaha. Lingkungan usaha di mana perusahaan A
beroperasi akan menentukan langkah apa yang harus dilakukan oleh perusahaan
tersebut.
Adanya
nilai-nilai atau konsep dasar dan keyakinan dari suatu perusahaan.
Acara-acara
rutin yang diselenggarakan perusahaan dalam rangka memberikan reward pada para
karyawannya. Adanya jaringan yang dimiliki setiap perusahaan berbeda-beda.
Jaringan komunikasi informal dalam perusahaan dapat menjadi sarana penyebaran
nilai-nilai, asumsi-asumsi dan keyakinan dari budaya perusahaan terkait.
Jadi, budaya perusahaan diperoleh berdasarkan interaksi para
karyawan dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka, di bawah kontrol para
dewan direksi atau atasan. Budaya perusahaan juga dipengaruhi oleh budaya yang
dianut oleh atasan, dalam hal ini irama kinerja yang diterapkan.
Contoh budaya organisasi dalam dunia kerja adalah adanya
kedisiplinan. Sebuah perusahaan misalnya terkenal dengan disiplinnya terhadap
waktu, pembagian kerja dan kinerja masing-masing divisi. Semua karyawan akan
menerapkan sikap yang disiplin terhadap cara kerja mereka, sehingga budaya
disiplin melekat dalam diri mereka.
Contoh
Kasus :
Pandangan seorang pemimpin Toyota terhadap Toyota Production
System, yaitu sistem manajemen operasi untuk mencapai sasaran yaitu kualitas
terbaik, biaya terendah, dan lead time terpendek dengan cara mendorong orang
menuju ke sasaran. Dengan kata lain pihak manajemen berusaha melakukan kegiatan
produksi yang efisien dan efektif dalam penggunaan sumber daya alam dan manusia
nya.
Pemimpin yang dikembangkan adalah pemimpin dari bagian
perusahaan juga, yang sudah lama dan mengerti benar sejarah dan budaya dari
Toyota ini dari hari ke hari. Hal ini agar dapat menghilangkan konsep ketidakseimbangan
ditempat kerja pada bagian eksekutif. Dengan demikian, posisi pihak wewenang
peerusahaan menjadi cukup stabil.
Seorang pemimpin harus memberikan dampak yang luar biasa
pada sebuah perusahaan. Bagaimana caranya seorang pemimpin bisa membawa budaya
perubahan yang luar biasa untuk menyembuhkan atau memulihkan sebuah perusahaan
yang sedang sakit. Oleh karena itu tanggung jawab pemimpin disini sangatlah
tinggi.
Seorang pemimpin harus mempunyai elemen kritis dan budaya
dari Genchi Genbutsu yang artinya memahami secara mendalam situasi sebenarnya
secara detail dan para pemimpin harus menunjukkan kemampuan dan mengerti
bagaimana pekerjaan diselesaikan di tingkat lantai pabrik Toyota. Jadi, tidak
hanya sekedar membaca situasi. Melainkan memahami setiap permasalahan yang anda
dan segera menanganinya dengan solusi-solusi yang tidak merugikan.
Selain itu, ajaran tentang kepemimpinan penting lainnya dari Toyota Way adalah upaya yang dilakukan untuk mendukung budaya yang menciptakan lingkungan organisasi pembelajar. Dengan istilah Deming, Toyota menggunakan ”kepatuhan pada tujuan” diseluruh elemen organisasi yang memberi dasar bagi kepemimpinan yang konsisten dan positif serta lingkungan untuk belajar. Dapat dikatakan kekurangan-kekurangan yang ada dala perusahaan adalah suatu metode pembelajaran untuk melakukan perbaikan yang lebih baik.
Selain itu, ajaran tentang kepemimpinan penting lainnya dari Toyota Way adalah upaya yang dilakukan untuk mendukung budaya yang menciptakan lingkungan organisasi pembelajar. Dengan istilah Deming, Toyota menggunakan ”kepatuhan pada tujuan” diseluruh elemen organisasi yang memberi dasar bagi kepemimpinan yang konsisten dan positif serta lingkungan untuk belajar. Dapat dikatakan kekurangan-kekurangan yang ada dala perusahaan adalah suatu metode pembelajaran untuk melakukan perbaikan yang lebih baik.
Penerapan Genchi Genbutsu dapat dengan mudah diikuti pada
lantai produksi, hal ini juga berlaku pada eksekutif dan manajer yang harus
melihat langsung, dan memahami benar situasi sebenarnya di tingkat pengerjaan.
Inti utama dari filosofi Toyota adalah bahwa budaya harus mendukung orang dalam
pekerjaannya.
Manajemen harus memperlihatkan komitmennya pada kualitas
tiap hari. Budaya yang ingin diciptakan adalah mendahulukan kualitas dan
mendahulukan keselamatan kerja. Pada intinya, budaya yang ingin dibangun adalah
kembangkan pemimpin yang benar-benar memahami pekerjaannya, menjiwai filosofi,
dan mengajarkannya kepada orang lain.
Toyota Way melibatkan pembelajaran organisasi dari
kesalahannya, menentukan akar penyebab dari permasalahan, menyediakan tindakan
penanggulangan yang efektif, memberdayakan karyawan untuk mengimplementasikan
tindakan tersebut, dan mempunyai proses untuk mentransfer pengetahuan baru
kepada orang yang tepat. Prinsip yang utama adalah bagaimana mengidentifikasi
akar penyebab masalah dan mengembangkan tindakan penanggulangan.
Toyota Way menjadi suatu organisasi pembelajar melalui
refleksi diri tanpa kompromi (hansei) dan peningkatan berkesinambungan
(kaizen). Kaizen, pada intinya merupakan sebuah pembelajaran sikap dan pola
pikir dari semua pemimpin dan karyawan, sebuah sikap dari refleksi diri sendiri
bahkan kritik pada diri sendiri, sebuah keinginan yang membara untuk
berkembang.
Sedangkan Hansei, yang berarti refleksi diri, tanggung jawab, dan pembelajaran organisasi. Dengan toyota mempunyai budaya terus berefleksi diri, maka Toyota akan mempunyai kesempatan untuk melihatnya tumbuh dan berkembang dalam cara baru. Jika seseorang mengakui telah melakukan kesalahan, mereka akan belajar dari kesalahan itu.
Sedangkan Hansei, yang berarti refleksi diri, tanggung jawab, dan pembelajaran organisasi. Dengan toyota mempunyai budaya terus berefleksi diri, maka Toyota akan mempunyai kesempatan untuk melihatnya tumbuh dan berkembang dalam cara baru. Jika seseorang mengakui telah melakukan kesalahan, mereka akan belajar dari kesalahan itu.
Perbedaan yang lain dapat dilihat dari budaya hansei
(refleksi diri), yaitu untuk jujur mengakui kesalahan/kelemahan dan memperbaiki
kelemahan. Para pekerja di Indonesia alangkah baiknya apabila lebih banyak
membahas kelemahan dari pada keberhasilan, sehingga dapat dijadikan sebagai
proses belajar untuk perbaiki diri dengan tujuan peningkatan yang lebih baik
dan berkesinambungan.
Para pekerja di Jepang juga merupakan seseorang yang
Hard-working dan pantang menyerah. Disitu pula terdapat perbedaan dengan para
pekerja di Indonesia yang bekerja untuk uang, sehingga kurang memperhatikan
kualitas.
Setelah melihat profil buadaya organisasi perusahaan Toyota,
sudah tentu terlintas dalam pikiran kita perbandingan antara perusahaan jepang
dan perusahaan Indonesia dalam hal budaya organisasinya.
Untuk Jepang, pada dasarnya tiap pemimpin seharusnya dipilih
berdasarkan kemampuan dan memahami pekerjaan yang akan dipimpinnya, tetapi di
Indonesia kurang sifat mengajarkan kepada para bawahannya. Seperti salah satu
budaya genchi genbutsu, tidak semua pegawai akan melihat masalah secara detail
dan menyeluruh.
Masih banyak karyawan yang mempunyai komitmen yang kurang
terhadap perusahaan dan cenderung ”cuek” dan tidak terlalu peduli terhadap
profit perusahaan, karena kebanyakan pekerja di Indonesia bekerja hanya untuk
uang. Dimana ada uang lebih, disitulah para pekerja akan bekerja lebih giat.
Dimana ada iming-imingan uang, disitulah para pekerja akan berebut untuk
menjadi posisi yang paling tinggi demi mendapatkan uang yang lebih banyak.
Selain itu, di jepang sangatlah menjunjung tinggi dua
prioritas, yaitu mendahulukan kualitas dan mendahulukan keselamatan kerja.
Budaya prioritas kualitas dan keselamatan kerja inilah yang dijunjung tinggi
oleh perusahaan di Jepang.
Sedikit berbeda dengan di Indonesia, hanya faktor kualitas
saja yang jauh lebih diutamakan, sedangkan masalah keselamatan dan kesehatan
kerja kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dengan belum optimalnya
pemakaian Alat Pelindung Diri pada para operator dan pekerja, yang dapat
disebabkan pemberian pengetahuan oleh perusahaan pada pekerja juga sangat
kurang, sehingga banyak pekerja yang ”menyepelekan” penggunaan alat-alat
keselamatan kerja.
Sesuai dengan poin-poin yang dinyatakan S.P Robbin diatas ,
perusahaan Toyota memiliki kriteria seperti : antar anggota organisasi loyal
kepada organisasi, pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam perusahaan
digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang
di dalam perusahaan sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif,
nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi
dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh
orang-orang yang bekerja dalam perusahaan.
Referensi
: