Rabu, 28 November 2012

Tugas 6 Etika Profesi Akuntansi #



Bagaimana budaya organisasi dapat mempengaruhi perilaku etis, dan berikan contoh kasusnya !

Budaya organisasi merupakan nilai, anggapan, asumsi, sikap dan norma perilaku yang telah melembaga kemudian mewujud dalam penampilan, sikap dan tindakan, sehingga menjadi identitas dari organisasi tertentu.
Budaya organisasi dalam setiap perusahaan, muncul berdasarkan perjalanan hidup para pegawai. Pada umumnya budaya organisasi terletak pada pendiri organisasi. Merekalah yang berperan penting dalam mengambil sebuah keputusan dan sebagai penentu arah strategi organisasi. Budaya organisasi juga disebut sebagai budaya perusahaan.
Budaya organisasi di setiap perusahaan yang ada di seluruh duniamemiliki budaya tersendiri dalam menjalankan kinerjanya. Hal ini disebabkan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.
Lingkungan usaha. Lingkungan usaha di mana perusahaan A beroperasi akan menentukan langkah apa yang harus dilakukan oleh perusahaan tersebut. 
Adanya nilai-nilai atau konsep dasar dan keyakinan dari suatu perusahaan. 
Acara-acara rutin yang diselenggarakan perusahaan dalam rangka memberikan reward pada para karyawannya. Adanya jaringan yang dimiliki setiap perusahaan berbeda-beda. Jaringan komunikasi informal dalam perusahaan dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai, asumsi-asumsi dan keyakinan dari budaya perusahaan terkait. 
Jadi, budaya perusahaan diperoleh berdasarkan interaksi para karyawan dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka, di bawah kontrol para dewan direksi atau atasan. Budaya perusahaan juga dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh atasan, dalam hal ini irama kinerja yang diterapkan.
Contoh budaya organisasi dalam dunia kerja adalah adanya kedisiplinan. Sebuah perusahaan misalnya terkenal dengan disiplinnya terhadap waktu, pembagian kerja dan kinerja masing-masing divisi. Semua karyawan akan menerapkan sikap yang disiplin terhadap cara kerja mereka, sehingga budaya disiplin melekat dalam diri mereka.

Contoh Kasus :
Pandangan seorang pemimpin Toyota terhadap Toyota Production System, yaitu sistem manajemen operasi untuk mencapai sasaran yaitu kualitas terbaik, biaya terendah, dan lead time terpendek dengan cara mendorong orang menuju ke sasaran. Dengan kata lain pihak manajemen berusaha melakukan kegiatan produksi yang efisien dan efektif dalam penggunaan sumber daya alam dan manusia nya.
Pemimpin yang dikembangkan adalah pemimpin dari bagian perusahaan juga, yang sudah lama dan mengerti benar sejarah dan budaya dari Toyota ini dari hari ke hari. Hal ini agar dapat menghilangkan konsep ketidakseimbangan ditempat kerja pada bagian eksekutif. Dengan demikian, posisi pihak wewenang peerusahaan menjadi cukup stabil.
Seorang pemimpin harus memberikan dampak yang luar biasa pada sebuah perusahaan. Bagaimana caranya seorang pemimpin bisa membawa budaya perubahan yang luar biasa untuk menyembuhkan atau memulihkan sebuah perusahaan yang sedang sakit. Oleh karena itu tanggung jawab pemimpin disini sangatlah tinggi.
Seorang pemimpin harus mempunyai elemen kritis dan budaya dari Genchi Genbutsu yang artinya memahami secara mendalam situasi sebenarnya secara detail dan para pemimpin harus menunjukkan kemampuan dan mengerti bagaimana pekerjaan diselesaikan di tingkat lantai pabrik Toyota. Jadi, tidak hanya sekedar membaca situasi. Melainkan memahami setiap permasalahan yang anda dan segera menanganinya dengan solusi-solusi yang tidak merugikan.
Selain itu, ajaran tentang kepemimpinan penting lainnya dari Toyota Way adalah upaya yang dilakukan untuk mendukung budaya yang menciptakan lingkungan organisasi pembelajar. Dengan istilah Deming, Toyota menggunakan ”kepatuhan pada tujuan” diseluruh elemen organisasi yang memberi dasar bagi kepemimpinan yang konsisten dan positif serta lingkungan untuk belajar. Dapat dikatakan kekurangan-kekurangan yang ada dala perusahaan adalah suatu metode pembelajaran untuk melakukan perbaikan yang lebih baik.
Penerapan Genchi Genbutsu dapat dengan mudah diikuti pada lantai produksi, hal ini juga berlaku pada eksekutif dan manajer yang harus melihat langsung, dan memahami benar situasi sebenarnya di tingkat pengerjaan. Inti utama dari filosofi Toyota adalah bahwa budaya harus mendukung orang dalam pekerjaannya.
Manajemen harus memperlihatkan komitmennya pada kualitas tiap hari. Budaya yang ingin diciptakan adalah mendahulukan kualitas dan mendahulukan keselamatan kerja. Pada intinya, budaya yang ingin dibangun adalah kembangkan pemimpin yang benar-benar memahami pekerjaannya, menjiwai filosofi, dan mengajarkannya kepada orang lain.
Toyota Way melibatkan pembelajaran organisasi dari kesalahannya, menentukan akar penyebab dari permasalahan, menyediakan tindakan penanggulangan yang efektif, memberdayakan karyawan untuk mengimplementasikan tindakan tersebut, dan mempunyai proses untuk mentransfer pengetahuan baru kepada orang yang tepat. Prinsip yang utama adalah bagaimana mengidentifikasi akar penyebab masalah dan mengembangkan tindakan penanggulangan.
Toyota Way menjadi suatu organisasi pembelajar melalui refleksi diri tanpa kompromi (hansei) dan peningkatan berkesinambungan (kaizen). Kaizen, pada intinya merupakan sebuah pembelajaran sikap dan pola pikir dari semua pemimpin dan karyawan, sebuah sikap dari refleksi diri sendiri bahkan kritik pada diri sendiri, sebuah keinginan yang membara untuk berkembang.
Sedangkan Hansei, yang berarti refleksi diri, tanggung jawab, dan pembelajaran organisasi. Dengan toyota mempunyai budaya terus berefleksi diri, maka Toyota akan mempunyai kesempatan untuk melihatnya tumbuh dan berkembang dalam cara baru. Jika seseorang mengakui telah melakukan kesalahan, mereka akan belajar dari kesalahan itu.
Perbedaan yang lain dapat dilihat dari budaya hansei (refleksi diri), yaitu untuk jujur mengakui kesalahan/kelemahan dan memperbaiki kelemahan. Para pekerja di Indonesia alangkah baiknya apabila lebih banyak membahas kelemahan dari pada keberhasilan, sehingga dapat dijadikan sebagai proses belajar untuk perbaiki diri dengan tujuan peningkatan yang lebih baik dan berkesinambungan. 
Para pekerja di Jepang juga merupakan seseorang yang Hard-working dan pantang menyerah. Disitu pula terdapat perbedaan dengan para pekerja di Indonesia yang bekerja untuk uang, sehingga kurang memperhatikan kualitas.
Setelah melihat profil buadaya organisasi perusahaan Toyota, sudah tentu terlintas dalam pikiran kita perbandingan antara perusahaan jepang dan perusahaan Indonesia dalam hal budaya organisasinya.
Untuk Jepang, pada dasarnya tiap pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan dan memahami pekerjaan yang akan dipimpinnya, tetapi di Indonesia kurang sifat mengajarkan kepada para bawahannya. Seperti salah satu budaya genchi genbutsu, tidak semua pegawai akan melihat masalah secara detail dan menyeluruh.
Masih banyak karyawan yang mempunyai komitmen yang kurang terhadap perusahaan dan cenderung ”cuek” dan tidak terlalu peduli terhadap profit perusahaan, karena kebanyakan pekerja di Indonesia bekerja hanya untuk uang. Dimana ada uang lebih, disitulah para pekerja akan bekerja lebih giat. Dimana ada iming-imingan uang, disitulah para pekerja akan berebut untuk menjadi posisi yang paling tinggi demi mendapatkan uang yang lebih banyak.
Selain itu, di jepang sangatlah menjunjung tinggi dua prioritas, yaitu mendahulukan kualitas dan mendahulukan keselamatan kerja. Budaya prioritas kualitas dan keselamatan kerja inilah yang dijunjung tinggi oleh perusahaan di Jepang. 
Sedikit berbeda dengan di Indonesia, hanya faktor kualitas saja yang jauh lebih diutamakan, sedangkan masalah keselamatan dan kesehatan kerja kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dengan belum optimalnya pemakaian Alat Pelindung Diri pada para operator dan pekerja, yang dapat disebabkan pemberian pengetahuan oleh perusahaan pada pekerja juga sangat kurang, sehingga banyak pekerja yang ”menyepelekan” penggunaan alat-alat keselamatan kerja.
Sesuai dengan poin-poin yang dinyatakan S.P Robbin diatas , perusahaan Toyota memiliki kriteria seperti : antar anggota organisasi loyal kepada organisasi, pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam perusahaan digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang di dalam perusahaan sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif, nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam perusahaan.

Referensi :